Menghijaukan Kota Malang
Penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) bukan soal mudah, termasuk di Kota Malang, Jawa Timur. Pemerintah kota pun menggandeng swasta untuk membuat taman kota. UDAH sekitar sebulan ini Jalan Merbabu, Kota Malang, Jawa Timur, lebih ramai dikunjungi warga. Di sore hari, orangtua datang membawa anak mereka. Ada yang sekadar berjalan-jalan di taman, ada pula yang bermain jungkat-jungkit hingga futsal.
“Saya biasanya memilih jalan-jalan di alun-alun Kota Batu. Sekarang mencoba di Taman Kota Merbabu, Malang,” ujar Iman Aji, Selasa (22/7). Bersama sang istri, ia membawa putranya yang duduk di kelas 1 SD rekreasi sembari menunggu buka puasa. Hadirnya ruang terbuka hijau (RTH) baru bernama Merbabu Family Park (MFP) itu juga disambut banyak keluarga lainnya.
Pasalnya, RTH di kota apel ini dirasakan kian sempit. Sebelum adanya MFP, Kota Malang juga memiliki hutan kota Malabar yang luasnya mencapai seluas 16.718 meter. Lalu ada pula taman di Jalan Trunojoyo dan di kawasan depan Stasiun Kereta Api Kota Malang. Totalnya, luasan RTH mencapai 17% dari luas kota yang mencapai 110,6 kilometer persegi. Luasan itu berarti masih kurang dari yang disyaratkan undang-undang.
Berdasarkan penjelasan Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa proporsi 30% merupakan ukuran minimal RTH untuk menjamin keseimbangan ekosistem. Kemudian dalam ayat 3 pasal itu disebutkan bahwa proporsi 20% dari RTH itu disediakan oleh pemerintah kota.
MFP yang seluas 392 meter persegi merupakan upaya Pemerintah Kota Malang untuk memenuhi 3% kekurangan tersebut. Upaya itu mereka lakukan dengan menggandeng perusahaan swasta, PT Beiersdof Indonesia.
“Ini memang sesuai rencana pemerintah untuk bisa melibatkan pihak ketiga atau perusahaan swasta dalam membangun Kota Malang,” ujar Wali Kota Malang Mochammad Anton dalam peresmian MFP yang berlangsung awal Juli 2014. Pemkot Malang memang merencanakan pengembangan RTH dengan tidak menggunakan dana anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Sebab itu, peran swasta sangat dinantikan.
Meski begitu, RTH atas partisipasi swasta ini dirasakan masih kurang memuaskan oleh warga. Lilik Sriadi, misalnya mengatakan MFP masih kurang memiliki koleksi tanaman. Akibatnya suasana teduh belum terbangun, begitu juga manfaat wisata edukasi dengan melihat koleksi tanaman.
Kondisi berbeda terlihat di hutan kota Malabar yang memiliki sekitar 61 jenis tanaman, termasuk bungur, dewandaru, matoa, tanjung, soka, dan tanaman-tanaman langka. Banyaknya koleksi tanaman memang ditunjang dengan luas hutan. Namun, warga berharap taman kota juga dapat menyediakan ruang bagi koleksi tanaman, meski tidak sebanyak di hutan kota. mengendalikan secara ketat izin kawasan terbangun. Selanjutnya, mendata secara detail RTH publik dan privat,” tegas Purnawan Dwikora, dari Walhi.
Selain itu, komitmen pemkot perlu dibarengi dengan upaya nyata dengan membeli lahan yang nantinya khusus untuk ruang publik. Hal serupa juga harus dilakukan swasta. Menurut Purnawan, penyediaan RTH dengan corporate social responsibility (CSR) itu terlalu murah. Seharusnya, perusahaan membeli lahan untuk RTH atau hutan kota sehingga bisa menambah areal guna pelestarian lingkungan.
Purnawan juga mengingatkan pemkot untuk menjaga fungsi RTH dari pemanfaatan yang tidak seusai. Contoh yang disesalkannya ialah berdirinya menara pemancar perusahaan telepon seluler di hutan kota Malabar. Keberadaan menara itu mengurangi kenyamanan dan keamanan hutan.
Di sisi lain, pemkot mengatakan mereka punya cara lain untuk mendorong pengembangan RTH. Salah satunya lewat perintah Wali Kota Malang bagi kecamatan dan kelurahan untuk memanfaatkan aset sebagai taman kota. Sejauh ini dalam 5 kecamatan dan 57 kelurahan di Kota Malang, luas RTH mencapai 18%. Bahkan, menurut Anton, komitmen pembangunan RTH akan diperluas hingga merambah bantaran Sungai Brantas.
Untuk mewujudkan program kota hijau ramah lingkungan ini, pemkot juga menggandeng 60 perguruan tinggi. Dengan begitu, kalangan akademisi diminta untuk menjadikan kelurahan sebagai daerah binaan. Nantinya perguruan tinggi bisa berperan aktif di Kota Malang, sekaligus memetakan kemiskinan dan melakukan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan ekonomi. (M-4) - Media Indonesia, 9 Agustus 2014, Halaman 23
“Saya biasanya memilih jalan-jalan di alun-alun Kota Batu. Sekarang mencoba di Taman Kota Merbabu, Malang,” ujar Iman Aji, Selasa (22/7). Bersama sang istri, ia membawa putranya yang duduk di kelas 1 SD rekreasi sembari menunggu buka puasa. Hadirnya ruang terbuka hijau (RTH) baru bernama Merbabu Family Park (MFP) itu juga disambut banyak keluarga lainnya.
Pasalnya, RTH di kota apel ini dirasakan kian sempit. Sebelum adanya MFP, Kota Malang juga memiliki hutan kota Malabar yang luasnya mencapai seluas 16.718 meter. Lalu ada pula taman di Jalan Trunojoyo dan di kawasan depan Stasiun Kereta Api Kota Malang. Totalnya, luasan RTH mencapai 17% dari luas kota yang mencapai 110,6 kilometer persegi. Luasan itu berarti masih kurang dari yang disyaratkan undang-undang.
Berdasarkan penjelasan Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa proporsi 30% merupakan ukuran minimal RTH untuk menjamin keseimbangan ekosistem. Kemudian dalam ayat 3 pasal itu disebutkan bahwa proporsi 20% dari RTH itu disediakan oleh pemerintah kota.
MFP yang seluas 392 meter persegi merupakan upaya Pemerintah Kota Malang untuk memenuhi 3% kekurangan tersebut. Upaya itu mereka lakukan dengan menggandeng perusahaan swasta, PT Beiersdof Indonesia.
“Ini memang sesuai rencana pemerintah untuk bisa melibatkan pihak ketiga atau perusahaan swasta dalam membangun Kota Malang,” ujar Wali Kota Malang Mochammad Anton dalam peresmian MFP yang berlangsung awal Juli 2014. Pemkot Malang memang merencanakan pengembangan RTH dengan tidak menggunakan dana anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Sebab itu, peran swasta sangat dinantikan.
Meski begitu, RTH atas partisipasi swasta ini dirasakan masih kurang memuaskan oleh warga. Lilik Sriadi, misalnya mengatakan MFP masih kurang memiliki koleksi tanaman. Akibatnya suasana teduh belum terbangun, begitu juga manfaat wisata edukasi dengan melihat koleksi tanaman.
Kondisi berbeda terlihat di hutan kota Malabar yang memiliki sekitar 61 jenis tanaman, termasuk bungur, dewandaru, matoa, tanjung, soka, dan tanaman-tanaman langka. Banyaknya koleksi tanaman memang ditunjang dengan luas hutan. Namun, warga berharap taman kota juga dapat menyediakan ruang bagi koleksi tanaman, meski tidak sebanyak di hutan kota. mengendalikan secara ketat izin kawasan terbangun. Selanjutnya, mendata secara detail RTH publik dan privat,” tegas Purnawan Dwikora, dari Walhi.
Selain itu, komitmen pemkot perlu dibarengi dengan upaya nyata dengan membeli lahan yang nantinya khusus untuk ruang publik. Hal serupa juga harus dilakukan swasta. Menurut Purnawan, penyediaan RTH dengan corporate social responsibility (CSR) itu terlalu murah. Seharusnya, perusahaan membeli lahan untuk RTH atau hutan kota sehingga bisa menambah areal guna pelestarian lingkungan.
Purnawan juga mengingatkan pemkot untuk menjaga fungsi RTH dari pemanfaatan yang tidak seusai. Contoh yang disesalkannya ialah berdirinya menara pemancar perusahaan telepon seluler di hutan kota Malabar. Keberadaan menara itu mengurangi kenyamanan dan keamanan hutan.
Di sisi lain, pemkot mengatakan mereka punya cara lain untuk mendorong pengembangan RTH. Salah satunya lewat perintah Wali Kota Malang bagi kecamatan dan kelurahan untuk memanfaatkan aset sebagai taman kota. Sejauh ini dalam 5 kecamatan dan 57 kelurahan di Kota Malang, luas RTH mencapai 18%. Bahkan, menurut Anton, komitmen pembangunan RTH akan diperluas hingga merambah bantaran Sungai Brantas.
Untuk mewujudkan program kota hijau ramah lingkungan ini, pemkot juga menggandeng 60 perguruan tinggi. Dengan begitu, kalangan akademisi diminta untuk menjadikan kelurahan sebagai daerah binaan. Nantinya perguruan tinggi bisa berperan aktif di Kota Malang, sekaligus memetakan kemiskinan dan melakukan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan ekonomi. (M-4) - Media Indonesia, 9 Agustus 2014, Halaman 23
0 komentar:
Posting Komentar